kemarin, saya beli cilok sepulang bekerja. saya selalu merasa sangat payah sepulang kerja. akhir-akhir ini, tekad untuk memasak dan bersih-bersih telah mengering akibat terik matahari tak kasat mata. sayuran yang saya beli dua minggu lalu perlahan membusuk di kulkas. baju-baju kotor selepas kerja tercecer di lantai kamar. kepala saya terasa gatal, mungkin saya harus keramas. tapi saya sangat, sangat malas. entah kapan terakhir kali keramas, saya lupa.
saat beli cilok, saya pikir, "oh saya tidak perlu memasak sepulang di rumah. tinggal makan lalu tidur."
saya serahkan selembar lima ribuan. ibu penjual menyerahkan cilok saya. seperti cilok-cilok pada umumnya, benda bernutrisi rendah itu terasa hangat di telapak tangan. tekstur halus plastik membungkus bola-bola pati bermicin dan saus kacang penuh dosa seperti gaun satin membungkus tubuh sintal pelacur onlyfans. "cukup sudah penderitaan saya memasak setiap hari sepulang kerja, hari ini saya akan makan cilok. persetan nutrisi dan kalori, saya hanya ingin jadi paus terdampar di kasur hari ini."
oh, kehangatan seplastik cilok di telapak tangan itu sesaat membuat saya merasa... bahagia.
lalu saya berbalik, hendak kembali ke motor saya. tapi, seketika saya disambut pemandangan seratusan ayam diangkut di mobil bak. mobil itu sengaja diberi petak-petak dari besi seperti penjara mini untuk mengangkut ayam. sesak sekali di dalam petak-petak itu. kepala-kepala ayam menyembul dari sisi bak, bulu kepala dan lehernya jarang-jarang, paruhnya pucat. tampaknya mereka ayam afkir. barang kali hendak dijual murah ke seorang pengepul.
secepat itu kebahagiaan saya runtuh. hangat cilok tinggal jadi puing-puing tak bermakna.
pacar saya sering bilang, "jangan biarkan hal-hal eksternal mempengaruhi dirimu, mengubah perasaan positif menjadi negatif." saya bisa membuat dinding pemisah untuk persoalan-persoalan pribadi remeh seperti bos saya marah, motor saya rusak, atau saya kehujanan sampai flu, saya bisa menyaring masalah-masalah itu. karena saya tahu itu cuma masalah saya, dan itu masalah sepele yang gampang teratasi.
tapi tiap kali saya melihat suatu penderitaan di alam luas, di kehidupan sehari-hari, tidak ada dinding penghalang, tidak ada filter kesedihan dalam diri saya. ayam-ayam afkir yang berjejalan dalam perjalanan mereka menuju tempat eksekusi mati itu membuat saya sangat sedih.
berulang kali saya bercakap dengan diri saya di kepala,
saya1: "kasihan sekali ayam-ayam itu. dunia ini tidak adil"
saya2: "ya, tapi itu bagian dari rantai makanan."
saya1: "tapi ayamnya kasihan."
saya2: "ya, tapi itu bagian dari rantai makanan. kalau mereka tidak dibunuh dan dimakan, manusia dan predator lain akan kekurangan makanan."
saya1: "tapi kenapa mereka harus jadi ayam yang dibiakkan di tempat buruk, menyiksa, dan dimakan? kenapa harus mereka yang jadi ayam? kenapa bukan ayu ting-ting saja yang jadi ayam-ayam itu?"
saya2: "yah, entahlah."
saya1: "benar kan, dunia ini tidak adil."
saya2: "adil itu hanya konsep buatan manusia. alam semesta adalah alam semesta. alam semesta bekerja sebagaimana ia bekerja, tidak peduli konsep dan fiksi apapun yang diciptakan manusia."
saya1: "kalau manusia memang membuat konsep keadilan, lalu kenapa justru manusia juga yang mengeksploitasi sumber daya dan membuat hal baik menjadi buruk?"
saya2: "karena manusia perlu memenuhi kebutuhan mereka."
saya1: "kenapa mereka tidak melakukannya dengan cara yang lebih baik? pelihara ayam-ayam itu di tempat yang sehat dan lebih luas, misalnya? meskipun pada akhirnya mereka dibunuh untuk dimakan, setidaknya hidup mereka sempat indah."
saya2: "karena itu tidak efisien dan buang-buang uang."
saya1: "efisiensi dan uang itu hanya konsep buatan manusia, relatif terhadap sudut pandang siapa yang diuntungkan. kenapa tidak berbuat yang terbaik untuk seluruh organisme dan alam, bukan hanya manusia?"
saya2: "karena kita tidak bisa menyenangkan semua orang dan membuat kebaikan untuk semuanya. sesuatu yang baik untuk sesuatu pasti punya dampak negatif pada sesuatu lainnya. sesuatu yang buruk untuk sesuatu pasti punya dampak positif pada sesuatu lainnya."
saya1: "jadi kita biarkan saja semua berjalan apa adanya?"
saya2: "hm... mungkin itu ide bagus."
saya1: "terus buat apa orang belajar peternakan, veteriner, sustainability, dan lain-lain kalau pada ujungnya kita hanya berputar di spiral positif-negatif tak berujung dan penderitaan akan tetap ada di dunia ini?"
saya2: "setidaknya kita berusaha. meskipun free will itu sebenarnya tidak ada. segala hal dan semua orang adalah hasil dari faktor biologis dan kausalitas yang merupakan sebab dari kausalitas lainnya, jadi sebenarnya kita hanya bergerak dalam arus. kadang kita tidak sadar, dan kita pikir kita punya free will untuk berpikir dan bertingkah sesuatu, tapi sebenarnya itu hanya hasil dari suatu kausalitas yang mengaktifkan kausalitas lainnya, yang menimbulkan aksi reaksi yang kamu pikir 'free will' itu."
saya1: "hentikan! hentikan! kita tidak punya waktu dan energi untuk memikirkan ini, aku bisa gila. sekarang kita harus menyetir dulu supaya sampai rumah dengan selamat."
saya2: "lihat, kan? kita tidak punya free will untuk berpikir sekalipun. tidak bisa berpikir karena harus berkonsentrasi menyetir."
saya1: "diam!"
percakapan seperti itu terjadi di kepala saya berkali-kali setiap hari. kadang tentang buruh di gudang pestisida. kadang tentang wereng di sawah. kadang tentang pelacur yang dianggap pelacur padahal mereka hanya pelacur seperti halnya kuli adalah kuli. tidak ada yang menganggap kuli kuli. kuli hanya kuli, tapi pelacur dianggap pelacur. kadang tentang mahasiswa-mahasiswa yang menerima beasiswa untuk mahasiswa tidak mampu padahal dia sangat mampu. kadang tentang firli bahuri bngsd, kadang saya bertanya-tanya apakah alam semesta membalas kedurjanaannya dengan karma sehari-hari seperti konstipasi, depresi, dan sebagainya?
tampaknya, psikiater di rumah sakit dekat universitas dulu mengira saya depresi karena saya introvert ekstrim dengan penghargaan diri yang rendah dan kurang bisa memproses hal-hal di sekitar saya dengan kognisi jernih, sehingga tidak bisa menyaring pikiran, sehingga pikiran saya kelabu oleh hal-hal yang tidak tersaring itu.
jadi saya berusaha menjernihkan kognisi dari waktu ke waktu. saya bercakap dengan diri saya sendiri saat ada perasaan negatif. lama kelamaan, saya mulai paham bukan itu masalahnya.
kognisi saya lebih jernih dari air zam-zam dan air suci dari surga fantasi manapun.
depresi bukan masalah kognisi. karena itu, menghadapi depresi dengan kognisi tidak akan berhasil. depresi adalah penyakit hipersensitivitas, tidak bisa menikmati senja karena pikiranmu sangat sadar, sehingga keindahan dan kenikmatan apapun di dunia ini tidak bisa menutupi ketidaknyamanan dan siksaan dari fakta adanya penderitaan, dan bahwa kita tidak punya kapabilitas untuk memperbaikinya karena rantai aksi-reaksi yang amat kompleks yang tidak dapat kita kendalikan.
berhentilah men-CBT orang yang menyuruh mereka 'menyaring perasaan dan pikiran'. orang depresi tidak butuh saringan, mereka perlu penyumbat. sumbat reseptor mereka yang amat peka dan tidurkan pikiran mereka yang sangat sadar, maka anda akan mendapatkan 'manusia bahagia': seperti orang-orang yang mencuri dan korupsi tapi masih bisa tidur tenang.
tampaknya bagi saya, orang-orang bahagia di tengah penderitaan, di atas tumpukan kedurjanaan, adalah orang-orang paling buta dan tersumbat.
0 comments:
Post a Comment