Hari-hari ini aku berusaha menurunkan berat badan. Kemarin, sekitar jam 3 sore aku sangat lemas. Rupanya aku mengalami hipoglikemik, padahal paginya sarapan. Siangnya makan snack dari kantor. Tapi sorenya lemas parah sampai berkeringat dingin dan tangan gemeteran. Lalu pulangnya aku memutuskan, "ok buat apa kurus kalo mati" kemudian beli cilok di dekat pasar.
300 meter dari situs cilok, aku melihat gerobak sate tahu dan seorang bapak kurus duduk di situ. Aku ingat wajahnya, bapak sate tahu yang dulu kubeli waktu aku masih SD. Motornya juga masih sama, motor Shogun warna biru. Tapi sekarang motornya sudah butut sekali. Bapak itu juga masih memakai peci dan gaya pakaian yang sama seperti aku masih SD dulu.
Akhirnya tadi sepulang kerja aku beli sate tahu di bapak itu. Mulanya aku cuma berdiri diam menunggu satenya dibakar. Bapak itu kemudian mulai bertanya, "mbak griyane pundi?" lalu kubilang rumahku di baratnya lapangan, rumah di belakangnya penjual sempol ayam. Bincang itu berlanjut sedikit, ternyata si bapak orang asli Kotes, pindah ke luar pulau tahun 70-an, lalu kembali ke Sukosewu tahun 2002. Sekarang rumahnya di baratnya pasar. Lalu aku bertanya kalau jualan sate tahu sampai jam berapa, si bapak bilang dia jualan sampai jam 10 malam karena pembelinya tidak begitu ramai. Rupanya kalah saing akibat banyak sekali penjual makanan pinggir jalan akhir-akhir ini, akibat Covid banyak orang banting setir cari uang dari berdagang makanan sore-malam hari.
Sebenarnya sebelumnya aku merasa ini adalah hari yang buruk. Saat berangkat, aku kehujanan. Manajer personalia dan ibu direktur terus-terusan bertanya tentang rencana resign-ku akhir bulan ini. Tadi, komputer di mejaku juga sempat rusak. Mas IT yang duduk di sebelahku tidak terlalu menghiraukan masalah monitorku yang sering mati, baru mau serius membenarkan setelah 5x bolak-balik mati. Saat pulang di parkiran, motorku di dekat Mas IT dan Pak Y, dan aku sangat canggung tidak bisa berkata 'monggo Pak Y' atau 'monggo Mas', lalu mereka langsung pulang tanpa berkata sepatah pun. Bekerja di tempat ini membuatku sadar betapa parah masalah kecemasan sosialku. Aku memikirkannya sepanjang jalan pulang. Kepercayaan diriku sangat rendah. Kadang aku merasa semua orang di kantor mungkin bergosip bahwa aku aneh atau tidak mau bicara dengan mereka. Atau mereka juga bingung mau bersikap bagaimana padaku. Kadang aku tiba-tiba takut kalau mas HRD yang lewat di belakangku akan tiba-tiba memukul kepalaku dari belakang. Padahal itu tidak mungkin. Entah kenapa aku punya pikiran berulang-ulang seperti itu.
Setiap kali aku memikirkan masalah kecemasan sosial itu, aku jadi merasa down dan pesimis masa depanku akan cerah. Kemudian pikiran-pikiran itu menjadi spiral negatif yang berulang-ulang terus.
Tapi ketika aku beli sate tahu dan ngobrol basa-basi dengan bapak itu, semua perasaan negatif yang terakumulasi sepanjang hari tiba-tiba menghilang, digantikan oleh rasa hangat seperti memegang mug teh di sofa saat di luar hujan. Padahal aku tidak kenal bapak itu. Aku hanya tahu kalau si bapak sudah lama berjualan sate tahu, dan meskipun sate tahunya tidak terlalu laku, dia tetap berjualan sate tahu, dan si bapak mengajakku bicara seolah aku pembeli pertamanya. Bapak itu adalah satu-satunya orang yang kedengaran tulus mengajakku bicara selama seminggu terakhir (selain pacarku, tentu saja. tapi aku dan pacarku tidak bisa ngobrol pakai bahasa indonesia atau jawa, jadi rasanya tetap beda).
Sejujurnya setiap berangkat dan pulang kerja aku sangat sering memikirkan persoalan: kenapa sebagian orang bisa hidup enak, punya rumah dan kendaraan layak, pekerjaan bagus, tapi sebagian orang kesusahan memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Pertanyaan itu tidak pernah pergi dari kepalaku. Dan itu sangat menyiksa. Misalnya aku melihat pemulung di pinggir jalan bawa karung besar, siksaan itu bertambah. Lalu aku melihat tukang rombeng becak, siksaannya bertambah lagi. Kemudian siksaan-siksaan itu terakumulasi di kepalaku, membuatku merasa sangat sedih.
Padahal aku sudah sering melihat orang-orang seperti ini. Tapi entah mengapa, semenjak aku tahu rasanya bekerja dan capek dan 'diperlakukan seperti bawahan' dan dibayar pas-pasan, aku jadi sangat sensitif terhadap penderitaan orang lain. Dan aku semakin benci pada orang-orang kaya dan orang-orang berpangkat yang bisa dengan santainya memalingkan muka dari penderitaan orang-orang itu, yang dengan gampangnya berkata, "Kalau kamu miskin ya itu salahmu sendiri, harusnya kamu berusaha dan bekerja keras supaya bisa kaya dan hidup enak."
Sewaktu kuliah ada seseorang yang berkata kalau kemiskinan itu bukan masalah yang perlu kita pusingkan. Menurutnya, orang jadi miskin karena malas. Menurutnya, 'kan mereka bisa buka warung jualan kopi'. Detik itu juga, tiba-tiba aku merasa mual karena orang itu tinggal di apartemen, kuliah naik mobil, intinya hidupnya sangat mulus--tapi masih sempat bolos kuliah--dan dia bisa bilang "kan mereka bisa cari uang jualan kopi". Jadi sebenarnya yang malas itu orang miskin, atau Anda sendiri?
Pada saat itu aku menyadari kenapa masyarakat ini sangat tersegregrasi. Orang-orang miskin takut dengan orang kaya, orang kaya tidak peduli dengan orang miskin. Padahal apa beda orang kaya dan miskin? Toh kita sama-sama butuh air dan oksigen, sama-sama kentut dan buang air. Tapi manusia hanya mau bergaul dengan sekufunya saja dan hanya mau memikirkan masalah dirinya sendiri, masalah orang lain itu bukan urusannya.
Kata pacarku, gajinya tidak beda jauh dengan gaji petugas kasir atau cleaning service di sana. Padahal posisinya manajer dan dia punya ijazah sarjana. Dia juga sangat pintar, orang paling kompeten di perusahaan itu di bidangnya--selain bosnya, tentu saja. Lalu kutanya, "kenapa kamu mau bekerja di situ kalau bayarannya ngga beda jauh sama bayaran petugas kasir dan tukang bersih-bersih?"
Kata pacarku, "Karena ini bidangku. Lagipula, di sini gaji dimana-mana juga nggak beda-beda amat. Pekerjaan manajerial itu nggak hebat-hebat amat, jadi ya bayarannya biasa saja. Toh jadi petugas kasir itu bisa lebih capek daripada pekerjaan manajerial."
Saat itu aku langsung shock. Ooh, jadi begitu rupanya. Pantas saja di negeri pacarku, dia bilang, "Aku nggak pernah ketemu orang 'kaya'. Kebanyakan orang yang biasa-biasa seperti keluargaku, atau sedikit di bawahku, atau sedikit di atasku. Tapi tidak ada yang 'kaya', kalaupun ada aku belum pernah ketemu yang seperti itu."
Semakin jelas pula lah kenapa kesenjangan di masyarakat ini luar biasa. Orang-orang menyembah titel dan jabatan, semua yang mengandung titel dan tampak keren akan dibayar banyak, yang bekerja keras tapi tidak punya titel akan diabaikan.
Hm, memang hidup itu kadang berat, kadang sangat berat. Apa itu keadilan, kalau nilai sosial saja terdistorsi oleh nafsu hedonis.
0 comments:
Post a Comment