Slider

Thursday, December 25, 2014

Grey Couch 3

Dari awal: Grey Couch 1
Sebelumnya: Grey Couch 2

Idina menjalani hidup tanpa ponsel selama tiga hari setelah dia membantingnya karena kecewa berat Ibu tidak berkata apa-apa tentang gugatan perceraian itu. Sejak dahulu kala, Idina tahu Ibunya memang menyebalkan, tapi dia tidak menyangka Ibunya bisa semenyebalkan itu. Bahkan lebih menyebalkan daripada Ayah yang memasang alat pelacak diam-diam.

Ayah tidak merelakan Idina bepergian tanpa ponsel, karena itu berarti dia tidak akan bisa menelefon kalau ada apa-apa. Pekerjaannya sebagai polisi memberi gambaran yang cukup baginya tentang kemungkinan-kemungkinan buruk, juga keyakinan bahwa semua orang berpotensi menjadi pelaku kriminal. Atas dasar itu, Idina mendapatkan ponsel baru.

Itu tidak membuat Idina senang. Mungkin hanya saat itu saja dia tidak bahagia mendapat ponsel baru, karena dia tahu dalam satu bulan atau kurang, dia akan berdiri di depan hakim untuk menyampaikan pilihan hak asuh, sekaligus melihat Ibu untuk terakhir kalinya.

Kemungkinan besar, untuk terakhir kalinya. Kalaupun Idina masih bisa bertemu dengan Ibu, itu berarti satu kunjungan singkat setahun sekali waktu Lebaran.

"Yah, kenapa sih, waktu itu Ayah pasang alat pelacak di tasnya Ibu?" tanya Idina di tengah perjalanan, ketika Ayah mengantarnya ke sekolah.

"Yah, itu, em... panjang ceritanya."

Idina melirik spedometer di dasbor. Lima puluh kilometer per jam. Masih ada delapan kilometer tersisa sampai ke sekolah. "Kalau Ayah nggak nambah kecepatan, Ayah punya waktu yang cukup buat cerita semuanya."

"Cerita sambil menyetir itu bahaya, bisa merusak konsentrasi."

"Ayah juga biasanya nyetir sambil telfon."

Ayah menelan ludah. Kadang keterus terangan Idina membuatnya merasa terintimidasi. Tanpa sadar, Ayah menekan pedal gas lebih dalam.

"Please deh, Yah, kalau Ayah kayak gini terus aku bakal pilih tinggal sama Ibu."

Seperti disetrum listrik, Ayah langsung berkata, "Investigasi."

Dahi Idina berkerut. "Jadi Ibu juga pelaku kriminal?"

"Eh, maksudnya bukan gitu."

"Lha tadi Ayah bilang investigasi."

"Investigasi masalah pribadi."

"Halah, bilang aja mau nge-stalk."

"Hah? Nge-stalk?"

"Iya, Ayah pasti niatnya nge-stalk Ibu, kan?"

"Nge-stalk itu apaan sih?"

Idina menepuk jidat. Dia hampir lupa kalau sedang bicara dengan orang yang usianya seperempat abad lebih tua dari dia, yang tidak pernah peduli pada perkembangan linguistik kontemporer karena terlalu sibuk mengendus jejak bandar narkoba dan para penculik anak di bawah umur.

Detektif seperti Ayah tidak butuh Facebook dan Twitter. Mereka butuh borgol dan pistol.

"Semacam mata-matain gitu."

"Bukannya alat pelacak memang dibuat untuk itu, ya?"

Sekali lagi, Idina menepuk jidat. "Biasanya nge-stalk itu kerjaannya orang lagi cemburu."

"Oh."

"Ayah cemburu, ya?"

"Nggak, Ayah cuma penasaran."

"Penasaran soal apa?"

"Yaa... kamu tahu lah. Ibumu jadi sering pulang telat. Angka kilometer di motornya juga tambah banyak."

Idina mengangguk-angguk. Dia mengerti sedikit sekarang. "Jadi Ibu kemana?"

Ayah mengangkat bahu.

"Lah, gimana sih? Bisa bikin, bisa pasang, masa tinggal ngelacak aja nggak bisa?"

"Mau gimana lagi? Belum ada satu hari dipasang dia langsung tahu kok."

"Hah? Yang bener?" Idina menahan tawa. "Yah, masa gitu aja langsung ketahuan?"

"Ayah juga nggak tahu gimana Ibu bisa tahu."

"Ayah sih, pasti kalau naruh nggak hati-hati."

"Waktu itu sudah Ayah taruh di balik jahitan tasnya. Beneran nggak kelihatan."

"Tapi kok Ibu bisa tahu?"

Sekali lagi, Ayah mengangkat bahu. Kepalanya menggeleng.

"Yah?"

"Hm?"

"Tapi Ayah nggak pernah naruh alat pelacak di tasku, kan?"

Dengan cepat, Ayah menyangkal. "Ah, enggak lah! Ngapain juga naruh alat pelacak di tasmu?"

"Beneran kan?"

"Iya, beneran."

"Awas kalau nanti ternyata Ayah pasang apa-apa."

"Ya Allah, enggak Din."

Mereka sampai di sekolah Idina tidak lama kemudian. Idina mencium tangan Ayah, kemudian masuk area sekolah. Saat berpapasan di koridor, Amanda dan Tia menyapa Idina. Idina hanya tersenyum singkat, tanpa ba-bi-bu menuju kelas.

Di kelas, Idina membongkar tasnya.

***
Selanjutnya: Grey Couch 4

0 comments:

Post a Comment