Sepanjang hidupnya, Idina tak pernah berusaha menggunakan otaknya secara maksimal. Dia tidak pernah berusaha mengingat hal-hal yang tidak ingin dia ingat. Biasanya Idina akan membuang ingatan-ingatan yang tidak ingin dia simpan di memorinya. Dia benar-benar ulung dalam hal melupakan banyak hal. Tapi cara itu tidak berlaku untuk beberapa ingatan khusus, salah satunya yang seperti ini:
Hari Rabu jam empat sore, Idina baru pulang setelah main di rumah Cindy. Ayah sudah ada di rumah. Mereka sama-sama lapar. Kulkas saat itu kosong melompong. Maka Ayah yang tidak punya ketrampilan rumah tangga dan Idina yang malas pun memasak mi instan.
Baru saja mi instan mereka matang, disajikan di piring, mereka mendengar pintu depan dibuka. Ibu sudah datang. Idina baru menelan satu suap mi, tiba-tiba Ibu melontarkan ekspresi paling mengerikan yang pernah dia saksikan.
Clak.
Ibu melempar chip kecil yang seperti potongan motherboard CPU. Cukup kecil, hanya dua kali ukuran SIM card, tapi cukup menimbulkan gempa sore itu.
"Apa ini??" sambil berkacak pinggang, Ibu menatap Ayah dengan tatapan Medusa-nya.
Ayah menurunkan tangannya, membentuk kepalan ringan canggung yang mencengkeram sendok dan garpu. Idina ingat jelas wajah Ayah yang tiba-tiba memucat seperti habis disiram cuka satu ember lalu dimasukkan ke freezer.
"Aa... itu cuma--"
"Cuma apa? Cuma alat pelacak? Iya? Kamu bilang alat pelacak itu CUMA?" suara Ibu benar-benar tinggi. Wajahnya memerah, seperi memancarkan api dari balik epidermis-nya.
"Aku cuma mau memastikan kalau kamu aman--"
"Aman? Aman apanya, hah? Sejak kapan aku butuh alat pelacak? Sejak kapan ada suami naruh alat pelacak di tas istrinya, hah??"
Whoa, Ayah creepy banget. Masa Ibu juga dikasih alat pelacak? Pikir Idina saat itu.
Ayah berusaha menjelaskan, "Aku cuma--"
Ibu memotong, "CUMA?? Kamu pasang alat pelacak diam-diam di tasku dan berani bilang 'cuma'?"
"Dengar dulu--"
"Ternyata kamu lebih parah dari yang aku pikir, ya??" kata-kata Ibu kian menyeramkan.
Idina bergerak di kursi makan, tidak nyaman.
"Dengar dulu kalau orang mau ngomong!" seru Ayah mulai emosi.
Idina menggeser piringnya, bersiap meninggalkan ruang makan. Dia punya firasat pertengkaran saat itu bakal lumayan besar.
"Kalau mau didengar hargain dulu orang lain! Kamu udah berani naruh pelacak di tasku, sebenernya seberapa curiganya sih, kamu sama aku?"
Ayah melempar sendok dan garpunya ke meja, menyebabkan suara gertakan mengerikan yang langsung membuat Idina berlari ke kamar sambil membawa mi-nya tanpa pikir panjang lagi. Bahkan setelah Idina menutup pintu kamarnya, Idinya masih mendengar dengan jelas Ayah berkata, "Iya, aku nggak bisa percaya kamu. Sudah terlalu banyak yang kamu sembunyikan, kamu sadar nggak??"
Kemudian seruan.
Kemudian teriakan.
Kemudian gelas pecah.
Kemudian suara Ayah menghantam sesuatu.
Kemudian teriakan "Stop!" Ibu yang diikuti dengan ancaman menelepon polisi.
Kemudian hening.
Semua itu terjadi selama sepuluh menit. Sementara mendengarkan orangtuanya bertengkar dari dalam kamar, Idina pada akhirnya hanya menghabiskan dua suap mi. Sisanya menjadi dingin dan terbuang sia-sia.
Tiga detik kemudian, Ayah mengetuk pintu kamar Idina. "Din?"
Idina tidak menjawab. Dia memasang headphone dan mulai memutar playlist-nya.
Tok tok tok.
Idina mengacuhkannya.
Tok tok tok. "Buka pintunya..."
Idina masih berusaha mengacuhkannya.
Tok tok tok tok! "Din, bukain pintunya, Ayah mau bica--"
Sebelum kalimat itu selesai, Idina sudah menendang pintunya.
Ayahnya diam sejenak, sementara Idina memperkeras headphone-nya dan menyalakan laptop. Kata-kata Ayah selanjutnya tidak dia dengarkan.
Yang benar saja, Ayah meletakkan alat pelacak diam-diam di tas Ibu. Bukankah itu artinya krisis kepercayaan di antara mereka sudah benar-benar akut? Belum lagi, kenyataan kalau yang melakukan itu adalah Ayahnya.
Ayah dan Ibu sudah pernah betengkar dua-tiga kali sebelumnya, semuanya karena sifat Ibu yang sering berlebihan, cerewet, dan selalu menuntut. Sudah tak terhitung berapa kali Ibu marah-marah tidak jelas hanya karena hal kecil seperti piring belum dicuci atau Ayah tidak meletakkan koran sembarangan di meja ruang tamu. Sebagai anak yang malas, sudah jelas sifat Ibu itu benar-benar mengganggu. Ibu juga sering sekali menyalahkan Idina. Dia juga selalu menuntut agar Idina menjadi lebih. Lebih baik dalam akademik, lebih rajin, lebih pintar, dan lebih-lebih lainnya yang sangat menyiksa bagi Idina. Karena itulah, Idina merasa lebih memihak Ayah.
Tapi Ayah baru saja membuktikan kalau dia juga orang yang menyebalkan.
***
Selanjutnya: Grey Couch 2
0 comments:
Post a Comment