Slider

Wednesday, December 24, 2014

Grey Couch 2

Sebelumnya: Grey Couch 1

Setelah pertengkaran karena alat pelacak itu, Idina mengurung dirinya di kamar sampai tiga hari. Dia hanya keluar untuk sekolah dan ke kamar mandi, itupun sambil menghindari Ayah. Ayah yang sempat melihatnya menuju kamar mandi berusaha menggunakan kesempatan itu untuk menjelaskan sesuatu, tapi sekali lagi Idina menendang pintu kamar mandi keras-keras. Tiga kali, sampai akhirnya Ayah sadar kalau waktu itu bukan saat yang tepat untuk bicara apapun dengan putrinya.

Ayah tidak menyerah. Dia menjemput Idina di sekolah, menunggu di luar gerbang sampai dua jam, tapi tak bisa menemukan batang hidung Idina.

Idina keluar lewat gerbang belakang, naik angkutan umum.

Ayah mengirim lusinan SMS, menelepon ratusan kali, tapi Idina mematikan ponselnya.

Ini terus berlangsung sampai tiga hari. Itupun jika Ayah tidak memaksa Idina mendengarkan kata-katanya, mungkin acara tutup mulut itu tidak akan berakhir. Ayah sudah terjaga sejak jam tiga pagi, duduk di sofa ruang keluarga. Idina tidak akan bisa sampai ke kamar mandi jika tidak melewati ruang keluarga. Seperti yang diduga Ayah, Idina bangun pagi sekali. Dia harus bangun sangat pagi kalau tidak ingin bertemu dengan orangtuanya.

Jam empat pagi, Idina menuju kamar mandi. Tetapi langkahnya terhenti begitu melihat bayangan kepala di sofa. Dia sempat merinding sedikit, tapi itu tidak menghentikan niatnya untuk ke kamar mandi. Sebelum Idina mencapai pintu kamar mandi, Ayah sudah berdiri di depannya, menghalangi pintu kamar mandi.

Idina hendak melarikan diri, tapi Ayah menahannya. Tak peduli berapa kali Idina mengibas-ngibaskan lengannya dan menarik tubuhnya, dia tidak bisa melawan kekuatan Ayah yang sudah berkali-kali melumpuhkan penjahat.

"Satu menit, Ayah cuma minta satu menit."

Idina masih memberontak.

"Kamu harus tahu--"

"Aku nggak mau tahu," Idina tidak berhenti melawan.

"Kami akan bercerai."

Baru setelah kalimat itu, Idina berhenti menggeliat, berhenti melawan kekuatan lengan Ayah yang menahannya. Ayah yang merasakan Idina sudah tenang melepaskan cengkeramannya. "Kapan?" tanya Idina lirih.

"Satu bulan."

"Satu bulan?"

"Atau kurang."

"Ibu yang menggugat?"

Ayah mengangguk.

Sudah kuduga, pikir Idina. "Ayah setuju?"

Idina mendengar Ayah menghela napas. Mereka berdiri berhadapan tanpa lampu dinyalakan, tapi Idina bersumpah dia bisa melihat kerutan-kerutan di dahi dan sudut mata Ayahnya menegang. "Itu yang terbaik."

"Kenapa baru bilang sekarang?"

"Kamu marah kemarin."

Idina mengangguk ringan. Ada sensasi kering di tenggorokannya. "Kenapa Ibu nggak bilang?"

"Mungkin dia sudah menelefon kamu, tapi HP-mu mati."

"Ibu di rumah Eyang?"

Ayah mengangguk.

Idina merasa seperti pemberontak bodoh. Saking bodohnya, dia tidak sadar kalau selama tiga hari terakhir, Ibu tidak ada di rumah. Jadi ketika Ayah mengetuk pintunya setelah pertengkaran alat pelacak itu, Ibu mungkin mengepak pakaiannya dan langsung pergi ke rumah Eyang. Sementara Idina mengurung diri di kamar, menghindari Ayah selama tiga hari, Ibu mempersiapkan dokumen-dokumen perceraian dan pengacara, mendesak Ayah untuk cepat mengurus izin perceraian ke atasannya.

Idina menarik napas dalam-dalam. Paru-parunya terasa penuh seperti mau meledak. "Oke."

"Kamu nggak merasa keberatan?"

"Nggak ada yang bisa dipaksa, Yah. Itu hak Ayah sama Ibu."

"Tapi kamu...."

Idina berbalik ke kamarnya tanpa menunggu kalimat Ayah selesai. Mungkin apa yang mereka lakukan itu benar. Tidak semestinya dua orang yang tidak pernah cocok satu sama lain memaksakan diri untuk bersama hanya karena mereka punya satu anak perempuan remaja yang labil emosinya.

Idina memeriksa ponselnya. Jika Ayah benar, jika Ibu masih peduli kepadanya, dia akan menemukan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ibu.

24 SMS dari Ayah.

32 panggilan tak terjawab dari Ayah.

Tak ada apapun dari Ibu.

Idina melempar ponselnya ke lantai.

***

Selanjutnya: Grey Couch 3



0 comments:

Post a Comment