Dalam pelajaran sejarah Indonesia, sejak kita SD sampai SMA,
kita diajarkan bahwa dulu bangsa Indonesia dijajah oleh berbagai bangsa lain,
terutama Belanda dan Jepang. Dalam buku-buku sejarah, kita menemukan berbagai
kalimat semacam ini:
“...Belanda menyengsarakan rakyat Indonesia selama 300
tahun...”
“...dengan sewenang-wenang Belanda me.....rakyat
Indonesia...”
“dengan licik Belanda......”
“Belanda yang congkak......”
“...Jepang menindas rakyat Indonesia...”
“kebijakan....Jepang sangat menyiksa rakyat Indonesia....”
“Jepang dengan liciknya.....”
Nah, Anda tahu maksud saya.
Tidak cukup begitu, para guru sejarah pada umumnya juga
mengompori murid-muridnya—sadar atau tidak sadar—bahwa orang-orang asing yang
menjajah bangsa Indonesia itu kejam, tidak bermoral, licik, dan sebagainya dan
sebagainya. Selain itu, biasanya mereka akan menyinggung-nyinggung tentang
betapa terpengaruhnya generasi muda pada globalisasi, kurang hormat pada
pahlawan, kurang patriotis dan sebagainya dan sebagainya.
Anda mungkin akan menganggap saya kurang nasionalis, tidak
menghargai perjuangan para pahlawan, radikal, apapun itu. Saya tidak keberatan,
karena saya hanya ingin menyampaikan pikiran saya.
Tapi menurut saya, ada sesuatu yang sangat salah pada
pelajaran sejarah yang seperti itu. Saya tidak pernah menyadari itu, sampai
akhirnya suatu hari saya mulai membaca buku-buku tentang Perang Dunia, politik,
dan kemanusiaan.
Pelajaran sejarah Indonesia menggambarkan kejadian sejarah
dengan cara yang sangat subjektif, dari sudut pandang rakyat Indonesia saja.
Buku-buku pelajaran sejarah tidak menjelaskan kejadian sejarah dari sudut
pandang Jepang atau Belanda, tidak menjelaskan kenapa mereka tega menjajah
Indonesia, padahal sesunguhnya itu sangat penting. Mereka mungkin menyebut Perang
Asia Timur Raya atau Perang Dunia, tapi mereka nyaris tidak pernah
menggambarkan kejadian sejarah itu dari sudut pandang Jepang dan Belanda,
mereka yang berhadapan langsung dengan perang itu sendiri.
Sadar atau tidak sadar, pelajaran yang seperti itu menanamkan
kebencian buta pada pihak-pihak yang disebut kejam, bengis, licik, dsb. Kenapa?
Karena mereka tidak tahu sepenuhnya. Mereka tidak melihat sebab-akibat, mereka
hanya melihat ‘penderitaan nenek moyang kita karena para penjajah Jepang dan
Belanda’.
Perang tidak pernah sesederhana itu. Selalu ada
sebab-akibat, politik, dan sekelumit aspek lain yang tidak dapat dijelaskan
dengan penggambaran betapa kejamnya kerja rodi dan romusa.
Selain itu—saya tidak tahu bagaimana menurut Anda, tapi dari
kacamata saya—mereka menyalahkan pembunuhan yang dilakukan penjajah, tapi
membenarkan pembunuhan yang dilakukan para pejuang.
Inilah yang paling saya sayangkan. Pelajaran sejarah
Indonesia mempromosikan nilai-nilai patriotisme, tapi kurang mempromosikan
nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Ada begitu banyak subjektivitas,
sampai-sampai tak ada yang sadar kalau itu subjektif.
Jujur saja, saya lebih percaya pada kemanusiaan dan
perdamaian dunia daripada nasionalisme. Menurut saya, nasionalisme adalah
evolusi dari narsisme dan subjektivitas yang dipoles sedemikian rupa, yang saya
sendiri tidak tahu kenapa orang begitu percaya kepadanya. Sudah terlalu banyak
manusia mati sia-sia karena perang, perang yang terjadi atas nama nasionalisme.
Nyawa yang seharusnya dihargai lebih daripada
kewarganegaraan/patriotisme/nasionalisme justru menjadi korban dari hasil
pemikiran society.
Ini tidak hanya berlaku pada bangsa Indonesia. Ini berlaku
di seluruh dunia, seluruh umat manusia.
Jika semua siswa, semua rakyat Indonesia, semua penduduk
dunia, seluruh umat manusia memahami konsep ini, tidak akan ada perang. Tidak
akan ada pertumpahan darah, tidak ada nyawa terbuang sia-sia. Tidak ada
penyiksaan jutaan Yahudi, tidak akan ada ISIS, tidak ada Perang Dunia, tidak
ada kerusakan.
Karena pada dasarnya, kita semua membutuhkan dunia yang
aman, di mana tujuh miliar manusia bisa hidup tentram tanpa
membunuh/menyiksa/menuduh/mengolok/membenci satu sama lain.
0 comments:
Post a Comment