Slider

Tuesday, February 24, 2015

Yang Dilewatkan Oleh Pelajaran Sejarah Kita


Dalam pelajaran sejarah Indonesia, sejak kita SD sampai SMA, kita diajarkan bahwa dulu bangsa Indonesia dijajah oleh berbagai bangsa lain, terutama Belanda dan Jepang. Dalam buku-buku sejarah, kita menemukan berbagai kalimat semacam ini:

“...Belanda menyengsarakan rakyat Indonesia selama 300 tahun...”
“...dengan sewenang-wenang Belanda me.....rakyat Indonesia...”
“dengan licik Belanda......”
“Belanda yang congkak......”
“...Jepang menindas rakyat Indonesia...”
“kebijakan....Jepang sangat menyiksa rakyat Indonesia....”
“Jepang dengan liciknya.....”

Nah, Anda tahu maksud saya.

Tidak cukup begitu, para guru sejarah pada umumnya juga mengompori murid-muridnya—sadar atau tidak sadar—bahwa orang-orang asing yang menjajah bangsa Indonesia itu kejam, tidak bermoral, licik, dan sebagainya dan sebagainya. Selain itu, biasanya mereka akan menyinggung-nyinggung tentang betapa terpengaruhnya generasi muda pada globalisasi, kurang hormat pada pahlawan, kurang patriotis dan sebagainya dan sebagainya.

Anda mungkin akan menganggap saya kurang nasionalis, tidak menghargai perjuangan para pahlawan, radikal, apapun itu. Saya tidak keberatan, karena saya hanya ingin menyampaikan pikiran saya.

Tapi menurut saya, ada sesuatu yang sangat salah pada pelajaran sejarah yang seperti itu. Saya tidak pernah menyadari itu, sampai akhirnya suatu hari saya mulai membaca buku-buku tentang Perang Dunia, politik, dan kemanusiaan.

Pelajaran sejarah Indonesia menggambarkan kejadian sejarah dengan cara yang sangat subjektif, dari sudut pandang rakyat Indonesia saja. Buku-buku pelajaran sejarah tidak menjelaskan kejadian sejarah dari sudut pandang Jepang atau Belanda, tidak menjelaskan kenapa mereka tega menjajah Indonesia, padahal sesunguhnya itu sangat penting. Mereka mungkin menyebut Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia, tapi mereka nyaris tidak pernah menggambarkan kejadian sejarah itu dari sudut pandang Jepang dan Belanda, mereka yang berhadapan langsung dengan perang itu sendiri.
Sadar atau tidak sadar, pelajaran yang seperti itu menanamkan kebencian buta pada pihak-pihak yang disebut kejam, bengis, licik, dsb. Kenapa? Karena mereka tidak tahu sepenuhnya. Mereka tidak melihat sebab-akibat, mereka hanya melihat ‘penderitaan nenek moyang kita karena para penjajah Jepang dan Belanda’.

Perang tidak pernah sesederhana itu. Selalu ada sebab-akibat, politik, dan sekelumit aspek lain yang tidak dapat dijelaskan dengan penggambaran betapa kejamnya kerja rodi dan romusa.

Selain itu—saya tidak tahu bagaimana menurut Anda, tapi dari kacamata saya—mereka menyalahkan pembunuhan yang dilakukan penjajah, tapi membenarkan pembunuhan yang dilakukan para pejuang.
Inilah yang paling saya sayangkan. Pelajaran sejarah Indonesia mempromosikan nilai-nilai patriotisme, tapi kurang mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Ada begitu banyak subjektivitas, sampai-sampai tak ada yang sadar kalau itu subjektif. 

Jujur saja, saya lebih percaya pada kemanusiaan dan perdamaian dunia daripada nasionalisme. Menurut saya, nasionalisme adalah evolusi dari narsisme dan subjektivitas yang dipoles sedemikian rupa, yang saya sendiri tidak tahu kenapa orang begitu percaya kepadanya. Sudah terlalu banyak manusia mati sia-sia karena perang, perang yang terjadi atas nama nasionalisme. Nyawa yang seharusnya dihargai lebih daripada kewarganegaraan/patriotisme/nasionalisme justru menjadi korban dari hasil pemikiran society.

Ini tidak hanya berlaku pada bangsa Indonesia. Ini berlaku di seluruh dunia, seluruh umat manusia.
Jika semua siswa, semua rakyat Indonesia, semua penduduk dunia, seluruh umat manusia memahami konsep ini, tidak akan ada perang. Tidak akan ada pertumpahan darah, tidak ada nyawa terbuang sia-sia. Tidak ada penyiksaan jutaan Yahudi, tidak akan ada ISIS, tidak ada Perang Dunia, tidak ada kerusakan.


Karena pada dasarnya, kita semua membutuhkan dunia yang aman, di mana tujuh miliar manusia bisa hidup tentram tanpa membunuh/menyiksa/menuduh/mengolok/membenci satu sama lain.    

0 comments:

Post a Comment